KELUARGA
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Suriyadi. S.Ag, S.Pd.I
A.
Pendahuluan
Keluarga merupakan bagian terkecil
dalam suatu masyarakat, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Meskipun
demikian ada juga keluarga yang hanya terdiri dari ayah dan ibu dalam sebuah
rumah tangga.
Keluarga
dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang merupakan produk dari adanya
ikatan-ikatan kekerabatan yang mengikat satu individu dengan yang lainnya.
Dengan pengertian ini keluarga berarti merupakan unit sosial terkecil dalam
masyarakat. Keluarga dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yaitu keluarga
luas atau keluarga besar yang disebut dengan al-‘ailah, dan keluarga
inti atau keluarga kecil yang disebut dengan istilah al-usrah. Al-‘ailah
dimaknai sebagai lembaga tempat hidup bersama dengan situasi yang
berbeda-beda, tapi di bawah satu formasi keluarga, yang di dalamnya
terbentuk sebuah ikatan bersama. Sedangkan al-usrah adalah kelompok
sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang belum menikah.
Dalam membina keluarga tentu tidak
terlepas dari nilai-nilai Islami sehingga kehidupan rumah tangganya akan
mendapatkan keharmonisan dan kebahagiaan bersama. Melalui bimbingan dan
pengajaran agama Islam dalam keluarga membuat ketentraman dan ketenangan hidup.
Pada kesempatan ini, penulis ingin
menguraikan tentang Keluarga dalam Perspektif Islam yang akan bahas pada uraian
berikutnya.
B.
Keluarga Dalam Perspektif Islam
1. Pengertian keluarga
Menurut
Ir. M. Munandar Soelaeman dalam bukunya yang berjudul :”Ilmu Sosial Dasar Teori
dan Konsep Ilmu Sosial”, mengartikan : “Keluarga diartikan sebagai suatu
kesatuan social terkecil yang dimiliki manusia sebagai makhluk social, yang
ditandai adanya kerja sama ekonomi”.[1]
Selanjutnya menurutnya lagi “ fungsi
keluarga berkembangbiak, mensosialisasi atau mendidik anak, menolong,
melindungi atau merawat orang-orangtua (jompo)”.[2]
Sementara itu para ahli antropologi
melihat : “ Keluarga sebagai suatu kesatuan social terkecil yang dipunyai oleh
manusia sebagai makhluk social”.[3]
Ini didasarkan atas kenyataan bahwa :
Sebuah keluarga adalah suatu satuan
kekerabatan yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya
kerjasama ekonomi, dan mempunyai fungsi untuk berkembangbiak, mensosialisasikan
atau mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat
orang-orangtua mereka yang telah jompo.[4]
Dari dua definisi diatas, terdapat persamaan yakni keluarga
terdiri dari suatu kesatuan terkecil dari manusia sebagai makhluk social dan
bekerja sama di dalamnya, mendidik anak-anaknya atau merawat orang-orangtuanya.
Selanjutnya Wahyu mengatakan :” dalam bentuk yang paling
dasar, sebuah keluarga terdiri atas seorang laki-laki dan seorang perempuan,
dan ditambah dengan anak-anak mereka yang biasanya tinggal dalam satu rumah
yang sama.[5]
Keluarga adalah terdiri dari ayah,
ibu, dan anak-anak yang belum menikah.[6]
Selanjutnya menurut Arifin , keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari
dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi
serta tinggal bersama.[7]
Dari semua definisi di atas tampak
persamaannya bahwa keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.
2. Fungsi keluarga
Secara singkat fungsi keluarga
menurut Prof. Wahyu ada 9 yaitu :
Biologis , Sosialisasi Anak, Afeksi,
Edukatif, Religus, Protektif, Rekreatif, Ekonomis, dan Penentuan Status.[8]
Selain itu Keluarga mempunyai empat fungsi, yaitu:
- Fungsi seksual yang membuat terjadinya ikatan di antara anggota keluarga, antara laki-laki dan perempuan. Kedua jenis kelamin ini secara alami berada pada posisi yang saling membutuhkan.
- Fungsi kooperatif untuk menjamin kontinuitas sebuah keluarga.
- Fungsi regeneratif dalam menciptakan sebuah generasi penerus secara estafet.
- Fungsi genetik untuk melahirkan seorang anak dalam rangka menjaga keberlangsungan sebuah keturunan.
3. Dalam Al-Qur’an istilah keluarga
disebut dengan Ahlun, sebagaimana terdapat dam surah At-Tahrim ayat 6
yang berbunyi :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam
butiran ayat di atas adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan
mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah, serta melarang mereka
dari bermaksiat kepada-Nya.
Selain
itu keluarga dapat diartikan dzawil qurba sebagaimana terdapat dalam surah
Al-Isra ayat 26 yang berbunyi :
ÏN#uäur #s 4n1öà)ø9$# ¼çm¤)ym tûüÅ3ó¡ÏJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# wur öÉjt7è? #·Éö7s? ÇËÏÈ
“Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
Islam merupakan agama yang pertama
kali memberikan perhatikan terhadap keluarga
sebagai elemen social yang pertama. Sementara orangtua memberikan pendidikan,
pemeliharaan dan pengawasan yang terus menerus
kepada anak-anaknya, yang akan mewarnai corak kepribadian sang anak.
Pendidikan agama Islam merupakan
pendidikan yang memberikan pengajaran, bimbingan terhadap anak dalam ajaran
agama Islam, sebagaimana yang dikemukakan :
“Pendidikan agama Islam adalah segala
usaha yang berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak agar kelak
setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agamanya, serta menjadikannya sebagi way of life ( jalan kehidupan)
sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun social masyarakat”.[9]
Menurut pengertian lain, pendidikan
agama Islam adalah usaha sadar generasi tua mengalihkan pengalaman,
pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi
manusia musli yang bertaqwa kepada allah Swt, berbudi pekerti luhur, dan
berkepribadian utuh yang memahami, mengahayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
dalam kehidupannya.[10]
4. Tujuan Terbentuknya Keluarga Muslim
Tujuan terbentuknya sebuah keluarga
muslim adalah menciptakan keluarga yang sakinah (tentram), mawaddah (cinta dan
gairah) dan rahmah (kasih sayang)[11]
Hal ini sebagaimana dalam surah
ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Sementara menurut undang-undang perkawinan Bab 1 pasal
1, menyatakan bahwa, “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Di
dalam hadis Rasulullah Saw, pernah bersabda yang artinya :” Janganlah seseorang
isteri sebagaimana binatang bersetubuh, dan hendaklahn ada perantara antara
keduanya “. Beliau ditanya:”apakah perantara itu?” Beliau menjawab: Ciuman dan
rayuan”. (HR. Dailami)
Sementara
itu menurut Nadhirah Mudjab, yang dikutip oleh Prof. Dr.H. Wahyu, menyatakan
bahwa tujuan terbentuknya suatu keluarga muslim adalah:
1.
Mengatur potensi
kelamin/kebutuhan sek yang sehat dan bersih
2.
Melahirkan
keturunan yang mulia
3.
Merasakan kasih sayang dan penderitaan hidup
4.
Mendidik generasi
baru
5.
Menjaga nasab
6.
Menjaga harta
pusaka.[12]
Sebuah keluarga Muslim merupakan
landasan utama bagi terbentuknya masyarakat Islami. Di dalam keluarga Muslim
terkandung sebuah konsep religius (al-mafhum al-dini), yaitu bahwa para
anggota keluarga diikat oleh sebuah ikatan agama untuk mewujudkan kepribadian
yang luhur. Konsep ini menekankan bahwa sebuah keluarga Muslim harus
dapat membentuk para anggotanya agar memiliki kepribadian yang luhur ini.
Memiliki sifat kasih dan sayang, cinta sesama, menghormati orang lain, jujur,
sabar, qana’ah dan pemaaf merupakan di antara indikator bagi sebuah kepribadian
yang luhur.
Orangtua mempunyai andil yang
cukup besar dalam membentuk kepribadian seorang anak, karena memang
dilingkungan keluargalah anak akan dibentuk, dalam arti pertumbuhan dan
perkembangan oleh orangtua.
Menurut Nasy’at Al-Masri dalam bukunya yang berjudul
“Menyambut Kedatangan Bayi”, mengatakan :
Adapun pembinaan dan
pendidikan bagi seorang anak muslim dan
muslimah yang baik, dapat direalisasikan dalam tiga masalah: pertama;
menumbuhkan dan mengembangkan segi-segi positif, membangkitkan bakat-bakatnya
yang luhur dan kreativitasnya yang
membangun dengan mewarnai ketiganya dengan warna dan corak Islam. Kedua; meluruskan kecenderungan dan
wataknya yang tidak baik, dengan mengarahkannya menuju perangai dan watak yang
terpuji. Ketiga; menguatkan keyakinan, bahwa tujuan utama dari penciptaan
manusia, ialah untuk mengabdikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[13]
Dalam membina
kebahagiaan dan ketentraman keluarga ada syarat yang perlu diketahui,
sebagaimana yang nyatakan oleh Zakiah Darajat yang dikutip oleh Prof.Dr.H.
Wahyu, sebagai berikut :
Beberapa persyaratan yang perlu diketahui dan dilakukan oleh
setiap pasangan suami isteri, agar dapat tercapai kebahagiaan dan ketentraman
dalam keluarga. Syarat-syarat itu antara lain, hendaknya suami isteri itu :
1.
Saling mengerti antara suami isteri
a. Mengerti latar belakang pribadinya
b. Mengerti diri sendiri
2.
Saling menerima
a. Terimalah dia sebagaimana adanya
b. Terimalah hobbynya dan kesenangannya
c. Terimalah keluarganya
3.
Saling menghargai
a. Menghargai perkataan dan perasaan
b. Menghargai bakat dan keinginannya
4.
Saling mempercayai
a. Percaya akan pribadinya
b. Percaya akan kemampuannya
5.
Saling mencintai
a. Lemah lembut dalam berbicara
b. Tunjukkan perhatian kepadanya
c. Bijaksana dalam pergaulan
d. Jauhi sikap egoistis
e. Jangan mudah tersinggung tentramkan
batin sendiri tunjukkan rasa cinta.[14]
Sementara
itu orangtua sebagai Pembina keluarga yang pertama dan utama dalam sebuah rumah
tangga wajib bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, hal ini sebagai amanah
dari Allah Swt. Yang dititipkan kepada orangtua.
Islam
membebani kedua orangtua untuk bertanggungjawab memelihara kehidupan,
pendidikan , pertumbuhan fisik, dan perkembangan mental anak, dengan
pertimbangan bahwa anak merupakan amanat yang dibebankan kepada mereka, dan
Allah akan menghisab mereka atas amanat tersebut. Hal itu untuk menghindarkan
si anak dari beban melindungi dan
mendidik dirinya sendiri yang tidak mungkin dilakukannya karena
ketidakmampuannya untuk melakukan itu. Untuk itu Islam melimpahkan
tanggungjawab mendidik anak kepada kedua orangtua.[15]
Tanggungjawab orangtua sebagai ayah dan
ibu terhadap anak menurut Umar Hasyim, yang dikutip oleh Prof. Dr. H. Wahyu
dapat dirincikan sebagai berikut :
1.
Memberi nama yang baik
2.
Membaguskan akhlaknya
3.
Mengajar baca tulis al-Qur’an
4.
Mengajar berenang
5.
Mengajar memanah atau menembak
6.
Menjodohkan kalau sudah dewasa
7.
Mendidik tauhid dan keimanan
8.
Membimbing shalat dan urusan ibadah lainnya.[16]
Sesungguhnya
Allah Swt. Itu indah dan menyukai keindahan. Diantara keindahan ialah memberi
nama yang baik bagi anak. Islam adalah agama kemudahan. Untuk itu, Islam
menginginkan kemudahan meskipun menyangkut pemberian nama.[17]
Nama yang baik bagi anak kelak akan memberikan
nilai positif. Sedangkan nama yang buruk tentu saja akan memberikan
dampak negatif bagi pemiliknya, dan bisa menjadi bahan ejekan atau celaan oleh
kawan-kawannya kelak.
Nama adalah lafaz dimana seseorang
dipanggil dengannya. Islam memberi perhatian sangat besar terhadap masalah ini,
hingga Allah Swt. Pun menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an surah Maryam ayat 7, yang berbunyi :
!$Ì2t»t $¯RÎ) x8çÅe³u;çR AO»n=äóÎ/ ¼çmßJó$# 4Ózøts öNs9 @yèøgwU ¼ã&©! `ÏB ã@ö6s% $wÏJy ÇÐÈ
“ Hai Zakaria, Sesungguhnya Kami
memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia”.(QS.
Maryam : 7)
Dari Abu Darda Ra, ia berkata bahwa
ia telah mendengar Sabda Rasulullah Saw :
“Sesungguhnya
kalian akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama kalian dan nama
bapak-bapak kalian. Maka baguskanlah nama-nama kalian.”(HR. Abu Dawud)
Adapun untuk memberi nama anak,
sebaiknya diambil dari nama-nama orang shaleh, baik dari kalangan nabi, rasul,
ataupun orang-orang shaleh lainnya. Hal itu dimaksudkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Dengan cara mencintai dan menghidupkan mereka. Rasulullah
Saw. Memberikan anjuran untuk memakai nama seperti Abdullah dan Abdurrahman.[18]
Dari Ibnu Umar ia berkata, telah
bersabda Rasulullah Saw. “ Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah
adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman”. (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Sedangkan nama-nama yang dimakruhkan untuk diberikan
kepada seorang anak seperti :
a.
Nama yang mengandung arti keberkahan atau yang
menimbulkan rasa optimis, misalnya nama : Aflah (beruntung), Nafi’
(bermanfaat), Rabah (keuntungan), Yasar (kemudahan).
b.
Nama yang berhubungan dengan hawa nafsu
c.
Nama yang mengandung kesan jelek, baik lafaz ataupun
makna
d.
Nama orang-orang fasiq, kafir, dan orang jahat
e.
Nama yang menunjukkan dosa dan maksiat
f.
Nama orang-orang zalim .misalnya Firaun, Qarun, Haman, Abrahah
dan lainnya.[19]
Hal utama yang harus dilakukan orang tua
adalah membimbing anaknya supaya berakhlak mulia. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw :
“Ajarkan kepada anak-anakmu tiga hal, yaitu : mencintai
nabimu, keluarganya, dan membaca Al-Qur’an. Karena sesungguhnya ahli
(melaksanakan ) Al-Qur’an itu akan berada di bawah naungan ‘Arsy Allah pada
hari kiamat bersama para nabi dan orang-orang suci” (HR. Thabrani)
Anak hendaknya terbiasa ditanamkan padanya
akhlak mulia, etika, moral dan nilai-nilai yang baik, sehingga akan
menjadikannya makhluk yang bermanfaat bagi dirinya, keluarganya, dan semua
orang. Akhlak mulia dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain. Orang yang agamanya baik tentu tercermin pada
akhlaknya yang mulia. Anak jangan diberi, ditontonkan akhlak tercela, seperti
berbohong, mencuri, suka mencela, memperolok-olok, menghina, mengumpat, ghibah,
membicarakan kejelekkan orang lain, dan sebagainya.[20]
Salah satu ajaran
Rasul adalah saling mendoakan antara satu dengan lainnya, yakni menebarkan
salam. Termasuk ketika kita ingin memasuki rumah atau keluar rumah, baik
rumahnyan sendiri maupun ketika sedang bertamu ke rumah orang lain. Nabi Saw
bersabda :
Artinya : “ Wahai anakku, jika kamu masuk menemui
keluargamu, ucapkanlah salam, niscaya akan menjadi berkah bagimu dan bagi
keluargamu” (HR. Tirmidzi).
Mengucapkan
salam merupakan salah satu sunnah Rasulullah. Ia adalah amal shaleh yang sangat
agung, walaupun cukup ringan dilakukan. Menebarkan salam dan mentradisikannya
merupakan perbuatan yang kelak memasukkan pelakunya ke dalam surga.[21]
Selanjutnya
menanamkan pendidikan aqidah atau tauhid kepada anak merupakan hal yang sangat
penting. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Lukman Al-Hakim. Firman Allah Swt. Dalam Al-Qur’an Surah Luqman ayat 13 yang
berbunyi :
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
“
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
Begitu juga dalam hal perintah shalat dan ibadah lainnya
Allah swt. Berfirman dalam al-Qur’an
Surah Lukman ayat 17 yang berbunyai : ¢Óo_ç6»t ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# öãBù&ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ tm÷R$#ur Ç`tã Ìs3ZßJø9$# ÷É9ô¹$#ur 4n?tã !$tB y7t/$|¹r& ( ¨bÎ) y7Ï9ºs ô`ÏB ÇP÷tã ÍqãBW{$# ÇÊÐÈ
“ Hai anakku, dirikanlah
shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu termasuk
hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Dalam memberikan pendidikan agama
kepada anak, orangtua hendaknya mendidik, membimbing dan mengawasi, terutama
yang menyangkut ibadah kepada Allah Swt., seperti shalat. Sebagaimana yang
diperintahkan Rasulullah Saw.dalam hadis beliau yang artinya :
“Dari
Amr bin Suaib dari ayahnya dari kakeknya yang di ridhai oleh Allah atasnya
berkata, sabda Rasulullah Saw.:”Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika
berusia 7 tahun dan pukullah mereka bila enggan mengerjakannya ketika mereka
berusia 10 tahun dan pisahkanlah tidur mereka “(HR. Abu Daud)[22]
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
1.
orangtua dalam
keluarga Muslim hendaknya menjadikan agama Islam sebagai landasan utama dan
pertama dalam mengajarkan, mendidik dan membimbing anak-anaknya agar menjadi
keluarga yang terpelihara dari api neraka.
2.
Orangtua
mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada anak-anaknya untuk bekal di dunia dan
di akherat
3.
Dalam membina
keluarga sakinah mawadah warahmah keluarga muslim berpegang kepada pedoman yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Husaini Abdul
Majid Hasyim, dkk, Pendidikan Anak Menurut Islam, Bandung : Sinar Baru
Algensindo, 1994
Abu Daud Sulaiman bin
Al-Asy’as-As-Sijistani, Sunan Abi Daud I, Beirut:
Darul Fikr, t.th
Departemen Agam RI, Pedoman Pelaksanaan
PendidikanA gama Islam, Jakarta : 1985/1986
Munandar
Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori
dan Konsep Ilmu Sosial,
Bandung : PT. Eresco, 1992
Nur Kholish Rif’ani,
Cara Bijak Rasulullah Dalam Mendidik Anak, Yogyakarta :
Real Book, 2013
Nasy’at Al-Masri, Uklhti
Al Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludiki Al-Jadid, diterjemahkan H. Salim Basyarahil , dengan
judul : Menyambut Kedatangan Bayi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Tim
Dosen PIF-Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, Surabaya-Indonesia: Usaha Nasional, 1988
Wahyu,
Ilmu Sosial Dasar, Surabaya:
Usaha Nasional, 1986
Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi
Pendidikan Islam, Banjarmasin ,2010
[1]
Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar
Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung : PT. Eresco, 1992), h.55
[2]
Ibid.
[3]
Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, ( Surabaya: Usaha Nasional, 1986),h. 57
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Wahyu, Pokok-pokok Materi Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam,
(Banjarmasin ,2010) Bagian 9, h. 1
[7]
Ibid.
[8]
Ibid.
[9]
Tim Dosen PIF-Malang, Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan,
(Surabaya-Indonesia: Usaha Nasional, 1988), h. 4
[10]
Departemen Agam RI, Pedoman Pelaksanaan PendidikanA gama Islam, (Jakarta
: 1985/1986),h. 9
[11]
Wahyu, Op-Cit., h. 4
[12]
Ibid., h.5
[13]
Nasy’at Al-Masri, Uklhti Al Muslimah Kaifa Tastaqbilin Mauludiki Al-Jadid,
diterjemahkan H. Salim Basyarahil , dengan judul : Menyambut Kedatangan
Bayi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Cet.14,h.60
[14]
Wahyu, Op-Cit., h. 6
[15]
Dr. Al-Husaini Abdul Majid Hasyim,
dkk, Pendidikan Anak Menurut Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo,
1994),h. 35
[16]
Ibid.
[17]
Nur Kholish Rif’ani, Cara Bijak Rasulullah Dalam Mendidik Anak,
( Yogyakarta : Real Book, 2013), h. 51
[21]
Ibid., hl. 97
[22]
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’as-As-Sijistani, Sunan Abi Daud I, (Beirut:
Darul Fikr, t.th), h. 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar