PENGEMBANGAN BUDAYA MADRASAH
PADA MAN 3 MARABAHAN KECAMATAN TAMBAN
KABUPATEN BARITO KUALA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
` Madrasah Sebagai organisasi atau lembaga pendidikan Islam yang
diberi wewenang untuk menyelenggarakan
pendidikan formal, yaitu proses
pembelajaran. Sebagai sebuah lembaga formal memiliki syarat
tertentu, seperti ada sejumlah orang, memiliki tujuan, prosedur, dan ada aturan
yang dipatuhi oleh warganya.
Madrasah merupakan bagian dari masyarakat, yang keberadaannya
tergantung pada keberadaan masyarakat sekitarnya. Artinya keberhasilan madrasah
dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya, karena madrasah
merupakan suatu sub sistem dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu masyarakat
, bangsa dan negara.
Partisipasi masyarakat pada madrasah
sangatlah penting, karena madrasah merupakan bagian dari masyarakat ,
keberadaannya ditengah masyarakat, dan
kehadirannya pun sangat diinginkan masyarakat, maka sewajarnyalah masyarakat ikut berperan dalam
kemajuan suatu madrasah.
Peran serta
masyarakat dalam pendidikan telah dikemukakan dalam UU Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 54 dikemukaan:
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan. (2) Masyarakat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan.[1]
Bentuk peran masyarakat pada madrasah adalah komite
madrasah, melalui
program-progam yang dibuat bersama, madrasah dan komite.
Peran itu dapat berupa : (1) membantu
kelancaran pendidikan di sekolah;
(2) memelihara meningkatkan dan mengembangkan sekolah; (3) memantau, mengawasi dan mengevaluasi
penyelenggaraan pendidikan [2]
Keberhasilan dalam
penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat,
melainkan juga pemerintah propinsi, kabupaten/kota, dan pihak madrasah,
orangtua dan masyarakat atau stakeholder pendidikan.
Keberhasilan
peserta didik dalam sebuah lembaga pendidikan dapat dilihat dari prestasi yang diraihnya, baik prestasi
akademik maupun non akademik yang dapat mengangkat derajat peserta didik dan
juga lembaga itu sendiri. Hal ini seperti yang dikatakan Mujamil; bahwa: ’Seorang
lulusan dari lembaga pendidikan apa pun selama memiliki keunggulan tertentu
yang tidak dimiliki oleh lulusan-lulusan lainnya, tentu akan mengangkat derajat
dan martabat lembaga tempat dia belajar.’[3]
Untuk
mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik, ada beberapa prinsip
orientasi strategis dalam mengembangkan
pendidikan Islam, yaitu : a. Orientasi
pengembangan sumber daya, b. Mengarah pada pendidikan Islam multikulturalis,
c. Mempertegas misi dasar ‘liutammima makarim al-akhlaq’ (untuk menyempurnakan
akhlak manusia), dan d. Mengutamakan spritualisasi watak kebangsaan.[4]
Lebih lanjut Mujamil menegaskan, bahwa :
Empat prinsip tersebut mewakili empat dimensi
yang terjalin secara integral yang
menjadi orientasi pendidikan Islam, yaitu dimensi potensial, dimensi kultural, dimensi etik,
dan dimensi spritual. Dimensi potensial mengarahkan alur pendidikan pada
pengembangan sumber daya manusia menuju
terbentuknya masyarakat madani; dimensi kultural mengarahkan gerak pendidikan supaya ramah terhadap budaya lokal
sehingga bersikap inklusif; dimensi etika mengarahkan alur pendidikan agar
benar-benar mengemban misi menanamkan moral pada seluruh bangsa; sedang dimensi
spritual mengarahkan pendidikan aga
mempunyai jiwa keimanan sebagai dasar dalam mengarungi kehidupan sehari-hari
yang penuh godaan. Dari sisi keterpaduan, sebenarnya pendidikan Islam berusaha
mewujudkan siswa atau lulusannya untuk
memiliki keimanan yang unggul, intelektual
unggul, peduli dalam beramal, anggun akhlaknya, dan mahir dalam berbagai
keterampilan.[5]
Keberhasilan
madrasah dalam membina siswa-siswanya merupakan keberhasilan warga madrasah dan
masyarakat yang bekerjasama membina madrasah. Keberhasilan sebuah Madrasah Aliyah dapat dilihat antara lain; melalui berapa
banyak siswanya yang dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau yang bisa
meneruskan sekolah sampai selesai.
Visi dan misi lembaga pendidikan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah tatanan pendidikan. Ia
merupakan landasan berpijak kemana arah lembaga pendidikan itu mau dibawa.
Mengacu pada Renstra
Kementerian
Agama 2010-2014, visi Kementerian Agama adalah “Terwujudnya
Masyarakat Indonesia Yang Taat Beragama, Rukun, Cerdas, Mandiri Dan Sejahtera
Lahir Batin”[6]
Sejalan dengan
visi di atas, Kementerian Agama memiliki misi untuk:
1. Meningkatkan
kualitas kehidupan beragama.
2. Meningkatkan
kualitas kerukunan umat beragama.
3. Meningkatkan kualitas raudhatul
athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan
keagamaan.
4. Meningkatkan
kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
5. Mewujudkan tata kelola
kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Sasaran strategis bidang raudhatul athfal, madrasah,
perguruan tinggi agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan adalah
terwujudnya pelayanan pendidikan yang merata, bermutu dan berdaya saing, serta
mampu memperkuat jati diri bangsa[7]
Untuk mencapai itu
maka semua lembaga pendidikan Islam termasuk di daerah harus mampu
menterjemahkan menjadi misi madrasah yang sesuai dengan budaya daerah dan
madrasah masing-masing. Dalam mewujudkan ini, maka peran warga madrasah yakni kepala madrasah, guru, tenaga
pendidik, siswa dan komite madrasah sangat penting. Dalam hal menciptakan
madrasah, peran guru dan manajemen madrasah menjadi hal yang utama.
Guru sebagai pendidik merupakan contoh nyata bagi
siswa yang selalu dilihatnya setiap
hari. Kedisiplinan guru hadir tepat waktu dalam mengajar, cara guru berbicara,
cara guru berpakaian, juga menjadi sorotan siswa atau penilaian siswa. Sehingga
sangatlah wajar bila guru dianggap sebagai peletak dasar perubahan budaya.
Guru oleh ahli pendidikan dimasukan sebagai tenaga
atau pekerja profesional, karena guru merupakan pekerjaan yang sifatnya khusus,
pendidikannya khusus yang memang dipersiapkan untuk pekerjaan mendidik atau
yang kita kenal dengan pendidikan keguruan.
Menurut Abudin Nata, guru sebagai pekerja profesional
yang memiliki kode etik /akhlak, dalam melaksanakan pekerjaannya
bertanggungjawab pada:
(1)
Tingkah laku yang diperbuatnya
telah mendarah daging dan menyatu menjadi kepribadian yang membedakan antara
individu yang satu dengan individu yang lain;
(2)
tingkahlaku tersebut sudah
dilakukan dengan mudah dan tanpa memikirkan lagi, hal ini akibat dari
pekerjaannya itu telah mendarah daging;
(3)
perbuatan yang dilakukan akibat
dari tekanan orang lain;
(4)
perbuatan yang dilakukan itu
berada dalam keadaan yang sesungguhnya, bukan berpura-pura atau bersandiwara;
(5)
perbuatan itu dilakukan dengan
niat karena Allah, sehingga perbuatan ini bernilai ibadah[8]
Sementara
itu dalam persyaratan menjadi guru SLTA, menurut Ahmad
Sonhadji, disebutkan
:
(1)
berijazah sarjana (S-1) sesuai
dengan bidang studi yang menjadi tanggungjawabnya;
(2)
sehat jasmani dan rohani;
(3)
beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa;
(4)
berbudi pekerti luhur;
(5)
memiliki kemampuan dasar dan
sikap antara lain: menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran, menguasai
metode, menguasai teknik evaluasi, dan memiliki komitmen terhadap tugasnya,
serta berdisiplin dalam pengertian yang luas.[9]
Menjadi guru berdasarkan tuntutan
hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang harus
merelakan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi kepada
Negara dan bangsa dan guna mendidik anak didik menjadi manusia susila yang
cakap, demokratis, dan bertanggungjawab atas pembangunan dirinya dan
pembangunan bangsa dan negara.[10]
Menurut
Zakiah Daradjat dan kawan-kawan
menjadi guru tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa
persyaratan seperti dibawah ini :
1.
Takwa kepada Allah Swt.
Guru, sesuai
dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar
bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa kepadaNya. Sebab ia
adalah teladan bagi anak didiknya sebagaimana Rasulullah saw.menjadi teladan
bagi umatnya. Sejauhmana seorang guru mampu memberi
teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia
diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa
yang baik dan mulia
2.
Berilmu.
Ijazah
bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa ,pemiliknya
telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya
untuk suatu jabatan.
3.
Sehat jasmani.
Kesehatan
jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi
guru. Kita kenal
ucapan “ mens sana in corponuruhara sano”, yang artinya dalam tubuh yang sehat
terkandung jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara
keseluruhan, akan tetapi kesehatan badan sangat
mempengaruhi semangat kerja. Guru yang sakit-sakitan kerapkali terpaksa
absen dan tentunya merugikan anak didik.
4.
Berkelakuan baik
Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru harus
menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Di antara tujuan
pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin
bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak mulia pula.[11]
Melihat
itu semua maka guru sebagai penyelenggara dan pengelolaan pendidikan, haruslah
bersifat (1) amanah, (2) profesional, (3) antusias dan bermotivasi tinggi, (4)
bertanggungjawab dan mandiri, (5) kreatif, (6) disiplin, (7) peduli dan
menghargai orang lain, (8) belajar sepanjang hayat.[12]
Lebih jauh untuk menciptakan
sebuah budaya madrasah maka harus
dibangun suatu sistem yang mencakup aspek kehidupan yang secara nasional telah
tercantum dalam visi, misi, dan tujuan
pendidikan nasional.
Pada intinya paradigma
pendidikan nasional yang diharapkan harus mampu mengembangkan tingkahlaku dalam
menjawab tantangan ; internal dan global. Hal ini haruslah menjadi komitmen
bersama dari semua komponen masyarakat pendidikan, yakni kepala madrasah, guru,
siswa dan lain-lainnya.
Untuk dapat
menggairahkan dunia pendidikan berbagai komponen pembentuk tingkah lakupun
diperlukan antara lain adalah motivasi diri. Pada dasarnya manusia dalam
bekerja memiliki motivasi. Dan motivasi yang kuat pengaruhnya adalah motivasi
ekonomi, karena motivasi ekonomi menyangkut kebutuhan dasar manusia atau
masalah kelangsungan hidup manusia. Bila kebutuhan ekonomi terpenuhi maka
motivasi berikutnya yang perlu ditambahkan adalah motivasi bertindak sosial,
hal ini disebabkan oleh karena manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia
lainnya, dan selalu berkomunikasi dengan
organisasinya. Keberadaan seseorang dalam suatu organisasi lebih-lebih
organisasi pendidikan, jiwa sosial sangat dibutuhkan sebagai modal seorang
pendidik. Orang yang memiliki sikap sosial biasanya memiliki disiplin yang
tinggi dan rasa empati yang tinggi.
Kedua motivasi diatas harus dapat dijadikan suatu
pembiasaan agar menjadi sebuah reflek dalam bersikap atau bertindak dalam
bekerja pada sebuah organisasi pendidikan. Bila sikap ini menjadi budaya dalam
suatu organisasi, maka secara umum dapat kita katakan bahwa lingkungan itu
memiliki budaya disiplin yang baik.
Beberapa motivasi di atas cukup untuk menciptakan kondisi
yang kondusif dalam dunia kerja, karena kondisi ini dapat berubah oleh kondisi
lingkungan yang berubah, misalnya pergantian pemimpin organisasi yang membawa
kebijakan yang berbeda, maka diperlukan penanaman landasan motivasi kerja yang
berdasarkan malu bila tidak melaksanakan tugas dengan baik. Ini merupakan motivasi
kerja yang tinggi dalam kehidupan organisasi.
Penanaman sebuah budaya di atas tidak mudah, tidak bisa
dilakukan secara sembarangan, harus terprogram yang dimulai dari stimulant dari
luar, dimulai dari motivasi yang paling dasar, yaitu motivasi ekonomi,
dilanjutkan bagaimana orang memiliki jiwa sosial, dan dilanjutkan dengan
motivasi orang bekerja atas dasar tuntutan agama.
Munculnya motivasi kiranya perlu di rangsang, hal ini
seperti yang dikemukan oleh Sardiman :” Motivasi akan dirangsang karena adanya
tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya
karena dirangsang/ terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah
tujuan. Tujuan ini menyangkut masalah kebutuhan”[13]
Melihat fenomena ini perlu kiranya kepala madrasah
melakukan sebuah terobosan agar keterlambatan guru masuk kelas, kekosongan jam
pelajaran dapat diperkecil atau diatasi, karena sangat merugikan siswa, dan
juga menyangkut kelangsungan madrasah dimasa yang akan datang. Apabila keadaan
ini dibiarkan maka visi dan misi madrasah akan dipertaruhkan. Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam yang semestinya
menjadi dambaan masyarakat yang dicita-citakan tidak akan terwujud.
Solusi dalam masalah ini dengan memberikan penghargaan atas prestasi kerja guru
dan sanksi bagi yang tidak mematuhi ketetapan
madrasah.
Menurut Adam Indrawijaya, bahwa :” harapan akan imbalan
dan hukuman merupakan pendorong bagi tindakan seseorang”.[14]
Derasnya arus informasi melalui media elektronik yang
dikonsumsi siswa setiap waktu, jam, menit dan detik dapat memberikan pengaruh
yang kurang baik, terlebih tayangan-tayangan televisi, hand phone bahkan
internet (situs-situs pornografi) yang
jauh dari pengawasan orangtua. Pengaruh itu mengarah kepada pengrusakan akhlak
atau kecenderungan anak tidak mengindahkan aturan-aturan agama, moral dan
budaya yang dianut sukunya masing-masing. Perilaku ini diperankannya kemudian
dibawa sampai ke madrasah, sehingga rasa hormat terhadap orangtua dan guru
mulai berkurang..
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku
menyimpang, seperti yang dikemukakan oleh Abudin Nata , diantaranya:
Pertama longgarnya pegangan terhadap agama, ini merupakan
tragedi bagi dunia maju , dimana segala sesuatu yang diinginkan dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan terhadap Tuhan
tinggal hanhya simbol, larangan dan suruhan Tuhan tidak di indahkan lagi.
Dengan longgarnya pegangan
seseorang pada ajaran agama, sehingga
hilanglah kekuatan pengontrol dalam dirinya. Kedua kurang efektifnya pembinaan
moral di rumah tangga, di sekolah dan di masyarakat. Pembinaan moral oleh
ketiga instansi ini tidak berjalan menurut semestinya”[15]
Lebih lanjut AbudinNata mengatakan bahwa :
Pendidikan moral tidak saja dapat diperankan dirumah
tangga, sekolahpun dapat mengambil peran yang penting dalam pembinaan moral
anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan yang baik
bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Disamping
sebagai tempat pemberian ilmu pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan.
Dengan kata lain supaya sekolah dapat berperan aktif sebagai lapangan sosial
bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek
kepribadian dapat berjalan dengan baik .[16]
Ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 disebutkan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya.[17]
Untuk mewujudkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
tersebut di atas, maka semua lembaga pendidikan haruslah mencoba mengembangkan
dan menterjemahkan tujuan pendidikan nasional tersebut ke dalam rumusan
sistematik dan terencana dalam kurun waktu tertentu untuk menciptakan budaya
yang selaras dengan kebudayaan nasional Indonesia, tidak terkecuali MAN 3
Marabahan.
Dari penjajakan awal di Man 3 Marabahan, terlihat bahwa warga
madrasah melaksanakan disiplin, etos
kerja, kebersamaan, dan mentaati tata tertib, nuansa religius
dengan tadarus alquran dilaksanakan rutin setiap hari
sebelum pembelajaran dimulai. Mengucapkan salam dan
saling menegur kepada sesama warga madrasah,. saling hormat
menghormati, dan sifat keteladanan kepala madrasah dan guru juga terlihat.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka
penulis ingin mengetahui lebih jauh bagaimana pengembangan budaya madrasah,
sehingga penulis melakukan sebuah penelitian yang akan dituangkan dalam wujud tesis dengan judul :”PENGEMBANGAN
BUDAYA MADRASAH PADA MAN 3 MARABAHAN
KABUPATEN BARITO KUALA”.
[1] Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
( Bandung: Citra Umbara, 2003), h. 6
[2] Ahmad Sonhaji, Dasar-Dasar
Manajemen Sumber Daya Manusia, (Surabaya : Universitas PGRI Andi Buana,
2000), h. 49
[3] Mujamil
Qomar, Manajemen Pendidikan Islam
(Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam), (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2006), h. 50
[6] http://kemenag.go.id/file/dokumen/BAB2.pdf, Visi, Misi Dan Tujuan
Kementerian Agama, diakses, tanggal 04 Nopember 2013
[7] Ibid
[9] Ahmad Sonhadji, Loc-Cit.
[10] Syaiful Bahri Djamarah, Guru
dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta : PT. Renika Cipta,
2005), h. 32
[12] Depdiknas,
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Dirjend Pendidikan Dasar Dan Menengah, 2003), h. 20
[14]
Adam Indrawijaya, Perilaku Organisasi ( Bandung: Sinar Biru
Algesindo,.1990), h. 75
[17] Depdiknas, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
( Jakarta: Dirjend Pendidikan Dasar Dan Menengah, 2003), h. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar