Rabu, 29 Januari 2014

Foto bersama Kepala MTsN Tamban Abd. Khair, S.Ag, M.Pd.I dengan Dewan guru, Tata Usaha MTsN Tamban

Abd. Khair, S.Ag, M.Pd.I kepala MTsN Tamban depan tengah, bersama dengan dewan guru dan Tu foto bersama di pintu gerbang MTsN Tamban, dari kiri Norlaila, S.pd.I, M.Pd.I, (guru Matematika), Siti Aisyah, S.Pd.I (guru B.Inggris), Siti Rahmah F., S.Ag, S.Pd.I (guru B. Inggris), Noorbayti, S.Ag (guru Pkn), Sri Handayani, S.Ag (guru SKI), Ervia Kasma Anisa, S.Pd (guru IPA), belakang dari kiri, Abdurrahman, S.Pd.I (guru B. arab), Suriyadi, S.Ag, S.Pd.I (guru Matematika, SKi), Sahran, S.Pd.I (TU), Alhadi, S.Pd.I (guru Quran hadis), Muamar, S.Pd (guru IPS).
Tampak kebersamaan antara pimpinan MTsN Tamban dengan Mitra Kerja.
Foto bersama menambah kekeluargaan sesama pendidik di MTsN Tamban

Shalat berjamaah meningkatkan iman dan taqwa umat Islam

Siswa MTsN Tamban melaksanakan shalat Zuhur berjamaah dalam rangka menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt.
Siswa sedang sujud dalam shalat zuhur berjamaah dengan khusu'nya di Ruang laboratorium IPA MTsN Tamban.
Shalat zuhur berjamaah di imami oleh Drs. Noor effendi, guru Fiqih  MTsN Tamban
Kepala MTsN Tamban Bapak Abd. Khair, S.Ag, M.Pd.I menjadi Imam shalat zuhur berjamaah di Mushala MTsN Tamban, dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Swt.
Kultum setiap selesai shalat Zuhur berjamaah di MTsN Tamban disampaikan oleh Suriyadi, S.Ag, S.Pd.I untuk menambah ilmu pengetahuan agama Islam serta menjalankan sunnah Rasul akan wajibnya menuntut ilmu dalam suatu majelis ilmu.

Selasa, 21 Januari 2014

Kegiatan Tari siswi MTsn Tamban

kegiatan tari dibimbing oleh guru tari suriyadi
siswa sedang menari tarian japin dut dengan semangat sekali



Kegiatan tari japin dut di ruang perpustakaan mtsn tamban

Kamis, 16 Januari 2014

Foto Bersama Kepala MTsN Tamban


Suriyadi, S.Ag,S.Pd.I guru Matematika MTsN Tamban Bersama Abd Khair, S.Ag, M.Pd.I Kepala MTsN Tamban Kab. Batola


puisiku sawah


Sawah
Oleh suriyadi



Pagi buta
Kabut pekat tutupi jasmani makin dingin
Secangkir kopi dan kue kering temani diri
Purun tutup kepala mulai rontok
Dimakan usia

Pagi buta
Ayun kaki mulai lemah tanpa alas pula
Besi tua dan batu teman setia
Robohkan ilalang sang pengganggu
Sekuat tenaga jua

Pagi buta
Langkah lamban karena usia
Kulit keriput tanda kepala mulai putih
namun hati terasa muda
demi sesuap nasi
buat keluarga

pagi buta
kayuhpun sampai jua
peluh bak butir jagung
jatuh didagu tak terasa
oh, inikah dunia
tempat bercocok tanam
disawah sana meski hanya menyewa
terasa bahagia bila  padi telah menguning kubawa
pulang buat semua.




contoh tesis pendahuluan


PENGEMBANGAN BUDAYA MADRASAH
PADA MAN 3 MARABAHAN KECAMATAN TAMBAN
KABUPATEN BARITO KUALA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
`           Madrasah Sebagai  organisasi atau lembaga pendidikan Islam yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu proses pembelajaran. Sebagai sebuah lembaga formal memiliki syarat tertentu, seperti ada sejumlah orang, memiliki tujuan, prosedur, dan ada aturan yang dipatuhi oleh warganya.
            Madrasah merupakan bagian dari masyarakat, yang keberadaannya tergantung pada keberadaan masyarakat sekitarnya. Artinya keberhasilan madrasah dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat sekitarnya, karena madrasah merupakan suatu sub sistem dari suatu sistem yang lebih besar, yaitu masyarakat , bangsa dan negara.
            Partisipasi masyarakat pada madrasah sangatlah penting, karena madrasah merupakan bagian dari masyarakat , keberadaannya ditengah masyarakat, dan  kehadirannya pun sangat diinginkan masyarakat, maka  sewajarnyalah masyarakat ikut berperan dalam kemajuan suatu madrasah.
Peran serta masyarakat dalam pendidikan telah dikemukakan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional pasal 54 dikemukaan:
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.[1]
Bentuk peran masyarakat pada madrasah adalah komite madrasah, melalui program-progam yang dibuat bersama, madrasah dan komite.
Peran itu dapat berupa : (1) membantu kelancaran pendidikan di sekolah; (2) memelihara meningkatkan dan mengembangkan sekolah; (3) memantau, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan [2]
Keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah propinsi, kabupaten/kota, dan pihak madrasah, orangtua dan masyarakat atau stakeholder pendidikan.
Keberhasilan peserta didik dalam sebuah lembaga pendidikan dapat dilihat dari  prestasi yang diraihnya, baik prestasi akademik maupun non akademik yang dapat mengangkat derajat peserta didik dan juga lembaga itu sendiri. Hal ini seperti yang dikatakan Mujamil; bahwa: ’Seorang lulusan dari lembaga pendidikan apa pun selama memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki oleh lulusan-lulusan lainnya, tentu akan mengangkat derajat dan martabat lembaga tempat dia belajar.’[3]
            Untuk mewujudkan kualitas pendidikan yang teruji dengan baik, ada beberapa prinsip orientasi strategis dalam mengembangkan  pendidikan Islam, yaitu : a. Orientasi  pengembangan sumber daya, b. Mengarah pada pendidikan Islam multikulturalis, c. Mempertegas misi dasar ‘liutammima makarim al-akhlaq’ (untuk menyempurnakan akhlak manusia), dan d. Mengutamakan spritualisasi watak kebangsaan.[4]
Lebih lanjut  Mujamil menegaskan, bahwa :
 Empat prinsip tersebut mewakili empat dimensi yang terjalin secara integral  yang menjadi orientasi pendidikan Islam, yaitu dimensi  potensial, dimensi kultural, dimensi etik, dan dimensi spritual. Dimensi potensial mengarahkan alur pendidikan pada pengembangan  sumber daya manusia menuju terbentuknya masyarakat madani; dimensi kultural mengarahkan gerak  pendidikan supaya ramah terhadap budaya lokal sehingga bersikap inklusif; dimensi etika mengarahkan alur pendidikan agar benar-benar mengemban misi menanamkan moral pada seluruh bangsa; sedang dimensi spritual  mengarahkan pendidikan aga mempunyai jiwa keimanan sebagai dasar dalam mengarungi kehidupan sehari-hari yang penuh godaan. Dari sisi keterpaduan, sebenarnya pendidikan Islam berusaha mewujudkan  siswa atau lulusannya untuk memiliki keimanan yang unggul, intelektual  unggul, peduli dalam beramal, anggun akhlaknya, dan mahir dalam berbagai keterampilan.[5]
            Keberhasilan madrasah dalam membina siswa-siswanya merupakan keberhasilan warga madrasah dan masyarakat  yang bekerjasama  membina madrasah. Keberhasilan sebuah Madrasah Aliyah  dapat dilihat antara lain; melalui berapa banyak siswanya yang dapat melanjutkan ke Perguruan Tinggi atau yang bisa meneruskan sekolah sampai selesai.
            Visi dan misi lembaga pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah tatanan pendidikan. Ia merupakan landasan berpijak kemana arah lembaga pendidikan itu mau dibawa. Mengacu pada Renstra  Kementerian Agama 2010-2014, visi Kementerian Agama adalah “Terwujudnya Masyarakat Indonesia Yang Taat Beragama, Rukun, Cerdas, Mandiri Dan Sejahtera Lahir Batin”[6]
Sejalan dengan visi di atas, Kementerian Agama memiliki misi untuk:

1. Meningkatkan kualitas kehidupan beragama.
2. Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama.
3. Meningkatkan kualitas raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama, dan pendidikan keagamaan.
4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
5. Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Sasaran strategis bidang raudhatul athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan adalah terwujudnya pelayanan pendidikan yang merata, bermutu dan berdaya saing, serta mampu memperkuat jati diri bangsa[7]
Untuk mencapai itu maka semua lembaga pendidikan Islam termasuk di daerah harus mampu menterjemahkan menjadi misi madrasah yang sesuai dengan budaya daerah dan madrasah masing-masing. Dalam mewujudkan ini,  maka peran warga madrasah yakni kepala madrasah, guru, tenaga pendidik, siswa dan komite madrasah sangat penting. Dalam hal menciptakan madrasah, peran guru dan manajemen madrasah menjadi hal yang utama.
Guru sebagai pendidik merupakan contoh nyata bagi siswa  yang selalu dilihatnya setiap hari. Kedisiplinan guru hadir tepat waktu dalam mengajar, cara guru berbicara, cara guru berpakaian, juga menjadi sorotan siswa atau penilaian siswa. Sehingga sangatlah wajar bila guru dianggap sebagai peletak dasar perubahan budaya.
Guru oleh ahli pendidikan dimasukan sebagai tenaga atau pekerja profesional, karena guru merupakan pekerjaan yang sifatnya khusus, pendidikannya khusus yang memang dipersiapkan untuk pekerjaan mendidik atau yang kita kenal dengan pendidikan keguruan.
Menurut Abudin Nata, guru sebagai pekerja profesional yang memiliki kode etik /akhlak, dalam melaksanakan pekerjaannya bertanggungjawab pada:
(1)   Tingkah laku yang diperbuatnya telah mendarah daging dan menyatu menjadi kepribadian yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain;
(2)   tingkahlaku tersebut sudah dilakukan dengan mudah dan tanpa memikirkan lagi, hal ini akibat dari pekerjaannya itu telah mendarah daging;
(3)   perbuatan yang dilakukan akibat dari tekanan orang lain;
(4)   perbuatan yang dilakukan itu berada dalam keadaan yang sesungguhnya, bukan berpura-pura atau bersandiwara;
(5)   perbuatan itu dilakukan dengan niat karena Allah, sehingga perbuatan ini bernilai ibadah[8]

Sementara itu dalam persyaratan menjadi guru SLTA, menurut Ahmad Sonhadji, disebutkan :
(1)   berijazah sarjana (S-1) sesuai dengan bidang studi yang menjadi tanggungjawabnya;
(2)   sehat jasmani dan rohani;
(3)   beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
(4)   berbudi pekerti luhur;
(5)   memiliki kemampuan dasar dan sikap antara lain: menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran, menguasai metode, menguasai teknik evaluasi, dan memiliki komitmen terhadap tugasnya, serta berdisiplin dalam pengertian yang luas.[9]


            Menjadi guru berdasarkan tuntutan hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang harus merelakan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi kepada Negara dan bangsa dan guna mendidik anak didik menjadi manusia susila yang cakap, demokratis, dan bertanggungjawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan negara.[10]
            Menurut Zakiah Daradjat dan kawan-kawan menjadi guru tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti dibawah ini :
1.      Takwa kepada Allah Swt. 
Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa kepadaNya. Sebab ia adalah teladan bagi anak didiknya sebagaimana Rasulullah saw.menjadi teladan bagi umatnya. Sejauhmana seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia
2.    Berilmu.
Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa ,pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan.
3.      Sehat jasmani.
Kesehatan jasmani kerapkali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Kita kenal ucapan “ mens sana in corponuruhara sano”, yang artinya dalam tubuh yang sehat terkandung jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara keseluruhan, akan tetapi kesehatan badan sangat  mempengaruhi semangat kerja. Guru yang sakit-sakitan kerapkali terpaksa absen dan tentunya merugikan anak didik.
4.      Berkelakuan baik
Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik. Guru harus menjadi teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Di antara tujuan pendidikan yaitu membentuk akhlak yang mulia pada  diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak mulia pula.[11]
           
            Melihat itu semua maka guru sebagai penyelenggara dan pengelolaan pendidikan, haruslah bersifat (1) amanah, (2) profesional, (3) antusias dan bermotivasi tinggi, (4) bertanggungjawab dan mandiri, (5) kreatif, (6) disiplin, (7) peduli dan menghargai orang lain, (8) belajar sepanjang hayat.[12]
Lebih jauh untuk menciptakan sebuah budaya  madrasah maka harus dibangun suatu sistem yang mencakup aspek kehidupan yang secara nasional telah tercantum  dalam visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional.
Pada intinya paradigma pendidikan nasional yang diharapkan harus mampu mengembangkan tingkahlaku dalam menjawab tantangan ; internal dan global. Hal ini haruslah menjadi komitmen bersama dari semua komponen masyarakat pendidikan, yakni kepala madrasah, guru, siswa dan lain-lainnya.
Untuk dapat menggairahkan dunia pendidikan berbagai komponen pembentuk tingkah lakupun diperlukan antara lain adalah motivasi diri. Pada dasarnya manusia dalam bekerja memiliki motivasi. Dan motivasi yang kuat pengaruhnya adalah motivasi ekonomi, karena motivasi ekonomi menyangkut kebutuhan dasar manusia atau masalah kelangsungan hidup manusia. Bila kebutuhan ekonomi terpenuhi maka motivasi berikutnya yang perlu ditambahkan adalah motivasi bertindak sosial, hal ini disebabkan oleh karena manusia hidup selalu berhubungan dengan manusia lainnya, dan selalu berkomunikasi dengan  organisasinya. Keberadaan seseorang dalam suatu organisasi lebih-lebih organisasi pendidikan, jiwa sosial sangat dibutuhkan sebagai modal seorang pendidik. Orang yang memiliki sikap sosial biasanya memiliki disiplin yang tinggi dan rasa empati yang tinggi.
Kedua motivasi diatas harus dapat dijadikan suatu pembiasaan agar menjadi sebuah reflek dalam bersikap atau bertindak dalam bekerja pada sebuah organisasi pendidikan. Bila sikap ini menjadi budaya dalam suatu organisasi, maka secara umum dapat kita katakan bahwa lingkungan itu memiliki budaya disiplin yang baik.
Beberapa motivasi di atas cukup untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam dunia kerja, karena kondisi ini dapat berubah oleh kondisi lingkungan yang berubah, misalnya pergantian pemimpin organisasi yang membawa kebijakan yang berbeda, maka diperlukan penanaman landasan motivasi kerja yang berdasarkan malu bila tidak melaksanakan tugas dengan baik. Ini merupakan motivasi kerja yang tinggi dalam kehidupan organisasi.
Penanaman sebuah budaya di atas tidak mudah, tidak bisa dilakukan secara sembarangan, harus terprogram yang dimulai dari stimulant dari luar, dimulai dari motivasi yang paling dasar, yaitu motivasi ekonomi, dilanjutkan bagaimana orang memiliki jiwa sosial, dan dilanjutkan dengan motivasi orang bekerja atas dasar tuntutan agama.
Munculnya motivasi kiranya perlu di rangsang, hal ini seperti yang dikemukan oleh Sardiman :” Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena dirangsang/ terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini menyangkut masalah kebutuhan”[13]
Melihat fenomena ini perlu kiranya kepala madrasah melakukan sebuah terobosan agar keterlambatan guru masuk kelas, kekosongan jam pelajaran dapat diperkecil atau diatasi, karena sangat merugikan siswa, dan juga menyangkut kelangsungan madrasah dimasa yang akan datang. Apabila keadaan ini dibiarkan maka visi dan misi madrasah akan dipertaruhkan. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang semestinya  menjadi dambaan masyarakat yang dicita-citakan tidak akan terwujud. Solusi dalam masalah ini dengan memberikan penghargaan atas prestasi kerja guru dan sanksi bagi yang tidak mematuhi ketetapan  madrasah.
Menurut Adam Indrawijaya, bahwa :” harapan akan imbalan dan hukuman merupakan pendorong bagi tindakan seseorang”.[14]
Derasnya arus informasi melalui media elektronik yang dikonsumsi siswa setiap waktu, jam, menit dan detik dapat memberikan pengaruh yang kurang baik, terlebih tayangan-tayangan televisi, hand phone bahkan internet  (situs-situs pornografi) yang jauh dari pengawasan orangtua. Pengaruh itu mengarah kepada pengrusakan akhlak atau kecenderungan anak tidak mengindahkan aturan-aturan agama, moral dan budaya yang dianut sukunya masing-masing. Perilaku ini diperankannya kemudian dibawa sampai ke madrasah, sehingga rasa hormat terhadap orangtua dan guru mulai berkurang..
Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang, seperti yang dikemukakan oleh Abudin Nata , diantaranya:
Pertama longgarnya pegangan terhadap agama, ini merupakan tragedi bagi dunia maju , dimana segala sesuatu yang diinginkan  dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan  sehingga keyakinan beragama  mulai terdesak, kepercayaan terhadap Tuhan tinggal hanhya simbol, larangan dan suruhan Tuhan tidak di indahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan  seseorang  pada ajaran agama, sehingga hilanglah kekuatan pengontrol dalam dirinya. Kedua kurang efektifnya pembinaan moral di rumah tangga, di sekolah dan di masyarakat. Pembinaan moral oleh ketiga instansi ini tidak berjalan menurut semestinya”[15]

Lebih lanjut AbudinNata mengatakan bahwa :
Pendidikan moral tidak saja dapat diperankan dirumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peran yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Disamping sebagai tempat pemberian ilmu pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain supaya sekolah dapat berperan aktif sebagai lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian dapat berjalan dengan baik .[16]
Ditegaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 disebutkan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negaranya.[17]
Untuk mewujudkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut di atas, maka semua lembaga pendidikan haruslah mencoba mengembangkan dan menterjemahkan tujuan pendidikan nasional tersebut ke dalam rumusan sistematik dan terencana dalam kurun waktu tertentu untuk menciptakan budaya yang selaras dengan kebudayaan nasional Indonesia, tidak terkecuali MAN 3 Marabahan.
Dari penjajakan awal di Man 3 Marabahan, terlihat bahwa warga madrasah  melaksanakan disiplin, etos kerja, kebersamaan, dan mentaati tata tertib, nuansa religius dengan tadarus alquran  dilaksanakan rutin setiap hari sebelum pembelajaran dimulai. Mengucapkan salam dan saling menegur kepada sesama warga madrasah,. saling hormat menghormati, dan sifat keteladanan kepala madrasah dan guru juga terlihat.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis ingin mengetahui lebih jauh bagaimana pengembangan budaya madrasah, sehingga penulis melakukan sebuah penelitian yang akan dituangkan dalam             wujud tesis dengan judul :”PENGEMBANGAN BUDAYA MADRASAH PADA  MAN 3 MARABAHAN KABUPATEN BARITO KUALA”.


[1] Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, ( Bandung: Citra Umbara, 2003), h. 6
[2] Ahmad Sonhaji, Dasar-Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia, (Surabaya : Universitas PGRI Andi Buana, 2000), h. 49
[3] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam  (Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam), (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 50
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 51
[6] http://kemenag.go.id/file/dokumen/BAB2.pdf, Visi,  Misi  Dan Tujuan Kementerian Agama, diakses, tanggal 04 Nopember 2013
[7] Ibid
[8]  Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Prenada Media, 2003),  h. 137
[9] Ahmad Sonhadji, Loc-Cit.
[10] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta : PT. Renika Cipta, 2005), h. 32
[11] Zakiah Darajat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 41
[12] Depdiknas, Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Dirjend Pendidikan Dasar Dan Menengah, 2003), h. 20

[13] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001),  h..72
[14] Adam Indrawijaya, Perilaku Organisasi ( Bandung: Sinar Biru Algesindo,.1990), h. 75
[15]  Abudin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta : Prenada Media, 2003) h. 192
[16] Ibid, h. 193
[17] Depdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, ( Jakarta: Dirjend Pendidikan Dasar Dan Menengah, 2003), h. 20