Foto bersama Ka Kanwil Kemenag Kalsel Dalam acara Rakor Kehumasan 2015
Foto bersama Narasumber Yanti dalam Rakor Kehumasan
kegiatan di TKN Pembina Tamban dalam pembelajaran melukis
SELAMAT BERKUNJUNG DI BLOG SAYA
Senin, 15 Juni 2015
Sabtu, 09 Mei 2015
Sabtu, 02 Mei 2015
Senin, 13 April 2015
CERPEN : Surat DIakhir Tahun
Surat
Diakhir Tahun
Oleh
Suriyadi
Fajar mulai menyingsing, kokok ayam jantan terdengar
bersahut-sahutan membangunkan orang kampung seakan menyuruh mereka untuk
kembali bekerja membanting tulang, sejenak suasana hening, aku pun membuka
mata, sedikit berat meninggalkan pembaringan tua dari kayu yang hampir rapuh
oleh waktu dan zaman yang berlalu begitu
cepat dan tidak akan kembali lagi walau hanya sedetik saja. Ku paksakan diri
bangkit melawan kemalasanku hari ini. Tidak seperti biasa, aku bangun dan
langsung ke kamar mandi mengambil air wudlu melaksanakan salat subuh dengan
ayah dan ibu ku, maklum tempat ibadah di kampungku agak jauh dari rumah,
sehingga aku selalu salat berjamaah dengan ayah, ibu dan adikku di rumah.
Hari ini adalah hari minggu, lumayan bisa
menenangkan otak dan pikiran yang sudah enam hari ke sekolah, menuntut ilmu di
madrasah tsanawiyah yang alhamdulillah sudah dinegerikan oleh kementerian
agama, sehingga aku tidak membebani orang tua untuk bayar Spp seperti
sekolah-sekolah swasta yang membayar biaya sekolah mereka. Ayah ku seorang
petani dan ibuku hanya ibu rumah tangga, ya kadang membantu ayah di sawah yang
hanya 10 borong saja, itupun tanahnya dibeli setelah ayah mengumpulkan uang
selama puluhan tahun. Disamping bekerja di sawah sendiri, ayah kadang bekerja
mengambil upah dari tetangga yang membutuhkan
tenaga ayah. Sehari ayah mendapat upah lima puluh ribu rupiah, kalau banyak
yang memerlukan tenaga ayah, maka akan dapat upah yang banyak juga.
Aku sebenarnya kasihan dengan kedua orang tua
ku, yang tak kenal lelah mencari nafkah keluarga dan biaya sekolah ku dan
adikku, ya untuk membeli buku, tas, sepatu, baju dan keperluan sekolah lainnya,
belum lagi uang saku yang ayah berikan kepadaku setiap hari, tidak banyak uang
saku yang diberikan ayah ku, namun aku bersyukur masih punya kedua orang tua
yang selalu menyayangiku. Ku lihat rambut ayah dan ibuku sudah memutih, kulit
mulai keriput, itu artinya mereka sudah lanjut usia yang seharusnya beliau
harus banyak istirahat di rumah.
Aku
hanya mempunyai satu orang adik. Adik ku namanya Ito, masih duduk di
kelas 3 sekolah dasar. Meski ia seorang lelaki, namun belum bisa membantu ayah
di sawah. Di rumah ku yang lantai dan dindingnya terbuat dari kayu dan atapnya daun rumbia
telah memberikan ketentraman hatiku, lebih-lebih aku punya seekor kucing yang
manis yang selalu menemaniku di saat aku sendirian. Aku memang paling suka
dengan kucing, kalau kucingku sakit, aku juga merasakan sakit. Aku memang
senang dengan binatang peliharaan, namun kucinglah yang paling aku senangi,
saat aku pulang sekolah “si manis” mengeong manja di pangkuanku.
Hari
mulai berangkat siang, mentari terasa menyengat tajam, aku telah menata
tempat tidur, istanaku yang selalu melindungi aku dari angin dan hujan. Aku
menemui ibu, saat ibuku memanggilku tadi, “Nak, sarapan pagi dulu, kata ibu”.
“Ya, bu, jawabku” singkat. Aku selalu
belajar dari ibu untuk membantu menyiapkan sarapan pagi, biasanya aku yang membuatkan
teh manis dan menyiapkan sayur. Menu makan hari ini, sayur kangkung yang
dipetik ibu di pekarangan belakang rumah dan ikan sepat siam kering tangkapan
ayah kemarin. Kami selalu sarapan dan makan bersama-sama.
Di sekolah, aku kenal dengan seorang lelaki
yang memikat hatiku. Aku selalu berdebar saat berdekatan dengan nya, ya apakah
ini yang dinamakan “cinta monyet” atau apalah-apalah. Ketertarikan ku padanya,
karena ia siswa yang lumayan cerdas, tak banyak bicara, sederhana, dan yang
jelas ia tampan. Namun aku bukanlah tipe wanita yang hanya bertepuk sebelah
tangan, ia juga menyukaiku, tampak dari rasa gugup “dagdigdug” saat dekat
dengan ku. Aku memanggilnya Kak Adi.
Masih terkenang dalam ingatanku, saat waktu
istirahat tiba, ia menemuiku dan mengajakku ke warung nasi yang ada di depan sekolah
kami.” Aisya hari ini aku akan mentraktir makan siang “, bagaimana? ajaknya.
Aku hanya mengangguk saja dan ikut dengan nya menuju ke warung makan tadi.
Teman-temanku sepertinya sudah paham betul bahwa aku bersama dengan pacarku,
sehingga mereka enggan mendekat denganku,” mengganggu katanya”.
Hari-hari terus ku lalui dengan dua perjalanan
sekaligus, kata pepatah,” sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui”. Aku
berusaha belajar untuk mengejar cita-cita dan juga menjaga kesucian cinta.
Seperti sebuah ungkapan, ”Hidup tanpa cita-cita tidak punya arti sedangkan
cita-cita tanpa cinta akan mati”.
Hari, minggu, bulan dan tahun berlalu begitu
cepat. Perpisahan kelulusan kami pun sudah dilaksanakan, aku lulus sekolah
dengan nilai yang memuaskan. Begitu juga dengan Kak Adi lulus dengan memuaskan.
Setelah lulus Madrasah Tsanawiyah Negeri, aku melanjutkan ke Madrasah Aliyah
Negeri yang ada di kampung kami. Sedangkan Kak Adi melanjutkan ke Pondok
Pesantren, sesuai dengan keinginan orangtuanya yang mengharapkan anaknya
menjadi seorang taat agama.
Lama kami tak bersua, hampir satu bulan,
karena jarak yang memisahkan, ku raih pena dan kutuliskan kata demi kata,
kalimat demi kalimat, ku mulai dengan kata salam:”
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
“Kak Adi, apa kabarnya, lama kita tidak
berjumpa, aku merasa rindu, bagaimana dengan sekolah Kakak di Pondok, aku
doakan ya Kak mudah-mudahan Kakak sukses. Amin. Wassalam,
Dariku yang selalu kau rindui,
Aisya
Ku antarkan surat ke kantor Pos yang ada di
kampung kami, dengan harapan mendapatkan balasan dari kekasih hati, “walau jauh
dimata, namun dekat dihati”.
Cukup lama aku menanti balasan surat dari Kak
Adi, dengan harap-harap cemas dan doa selalu kupanjatkan agar hubungan kami
selalu dalam lindungan Nya.
“Pos-pos”? terdengar didepan pintu ada suara
Pak Pos mengantarkan surat, aku berharap surat itu dari Kak Adi. Segera aku
membuka pintu, dan sepucuk surat diserahkan kepadaku dan kuterima surat itu,
hatiku berdebar saat membaca tulisan di sampul depan:” “Buat Dinda Aisya”.
Dengan penuh kebahagiaan perlahan aku ke kamar dan membuka surat dari Kak Adi.
Dan kubaca:
Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Salam sayang selalu untuk dinda seorang nan
jauh disana, kabar kakak alhamdulillah baik-baik saja, aku juga merasakan apa
yang kau rasakan, rindu ingin bertemu, bercengkeramah seperlu dahulu itu, namun
apalah daya kita sama- sama jauh dan sama-sama mengejar cita-cita. Kakak
ucapkan terima kasih atas doanya, dan Kakak juga mendoakan dinda sukses di
sekolah.amin.
Wassalam,
“Dari Kak Adi buat dinda Aisya seorang”
Malam ini aku merasa bahagia, dan aku berharap
bisa bertemu dengan dia walau hanya dalam mimpi.
Pagi ini, aku merasa senang sekali, tak
seperti biasanya gembira seperti ini, seperti biasa, bangun subuh dan shalat
subuh, membantu orangtua sarapan pagi dan pergi ke sekolah dengan mengayunkan
teman setiaku, “sepeda phonix”. Aku melaju menuju ke sekolah se akan
mendapatkan “angin surga”, aku belajar serius dan penuh perhatian di kelas.
Temanku kadang mengejekku, dengan mengatakan:” Ada yang lagi berbunga-bunga”,
kata mereka. Aku tak begitu memperdulikan apa kata teman-teman, yang penting
aku bahagia.
Sejak surat pertama sampai surat kelima,
setelah itu aku dan Kak Adi tidak ada komunikasi lagi, padahal rindu selalu
dalam hati ini. Kerinduan yang amat dalam kadang kupendam dan kucing
kesayanganku yang jadi sasaranku, “Kucing enaknya hidup sepertimu tidak pernah
pusing memikirkan kekasih, duhai kucing aku rindu”.
Tiga tahun sudah aku sekolah di Madrasah
Aliyah dan alhamdulillah aku lulus dengan memuaskan, namu hatiku masih
mengingat Kak Adi, yang tiada kabar beritanya, kemana aku mencari kabar. Ayah
dan ibuku mengharapkan aku melanjutkan ke Perguruan tinggi negeri, dan
alhamdulillah aku diterima sebagai mahasiswa dengan jurusan Bahasa Inggris,
kedua orangtuaku bangga aku bisa kuliah di perguruan tinggi. “ Nak, kami bangga
padamu, sebab kau telah kuliah, harapan ibu dan ayah, belajarlah yang rajin
agar cita-citamu dapat kau raih, ya nak?”. Aku pun terharu dengan doa yang
diucapkan ibu ku, aku pun memeluk ibuku, “Iya Bu, Ayah, aku akan mengejar
cita-cita sampai selesai kuliah diperguruan tinggi, terimakasih atas doa ibu
dan ayah menyertaiku”.
Hari-hari ku di perguruan tinggi, ku lalui
dengan sekuat tenaga dan pikiran melaksanakan tugas-tugas yang diberikan dosen
mata kuliah yang mereka ampu. Meski demikian, tidak bisa begitu saja aku
melupakan seorang yang mengisi hatiku dengan cinta yang tak ada kabar beritanya, aku selalu mencari
berita lewat teman-teman dikampusku.
Sungguh tak kusangka teman ku ada yang
mengetahui kabar Kak Adi, kekasihku itu. Minah dan Halimah memang teman
kuliahku yang selalu menemaniku dalam suka dan duka. Suatu ketika aku
mendengarkan percakapan mereka:
“Kasihan Aisya,”kata Minah memulai
percakapannya, kenapa “ si dia “ meninggakan nya padahal mereka berdua sudah
lama menjadi kekasih hati, mengejar cita dan cinta untuk hari nanti”.”Iya, kata
Halimah. Aku menghampiri mereka berdua yang saling bercakap tentang diriku, ada
apa teman, kalian tadi membicarakan aku ya? kataku penasaran. Begini Aisya,
ucap Minah memulai pembicaraan, “aku minta maaf padamu, karena tadi
membicarakan tentang dirimu, pintanya”, “Kekasihmu Kak Adi, memang orang yang
baik, ia sangat patuh pada orangtuanya, semenjak menimba ilmu di Pondok
Pesantren, orangtuanya menginginkan ia mempunyai pendamping hidup yang memakai
baju jubah, sedangkan Kak Adi tahu bahwa kamu tidak bisa memakai baju jubah
itu, dan ia tidak berani melawan orangtuanya, begitu ceritanya”. Mendengar
cerita temanku, aku terharu, sedih, dan menangis. “Bukanlah perpisahan yang aku
tangisi, namun pertemuan yang aku sesali”, dalam hatiku. Tak pernah ku
bayangkan sebelumnya, kalau akhirnya surat kelima menjadi surat terakhir di
akhir tahun ini, masih bisakah aku berharap Kak Adi berada di sampingku dalam
waktu yang tak menentu, “seperti hatiku yang sudah beku sampai kini”, entahlah.
(*)
Suriyadi, lahir di Tamban, 1974. Karya puisinya dimuat
dalam Antologi Puisi Penyair Barito Kuala Ije Jela Bersastra di Tahun Emas
(2009), Penulis skenario dan Sutradara Film Indie Banjar “ Sarakah Kada
Babarkat” (2008), dan Harta tahta dan wanita yang Membawa Petaka (2009), penulis
naskah drama “Manjada wa Jada”( 2007) adalah Magister Pendidikan Islam, IAIN
Antasari Banjarmasin dan tinggal di Purwosari 1 Rt. 6 Tamban. No Rekening:
4532-01-002507-53-8
Langganan:
Postingan (Atom)